Monday, July 16, 2012

Menaklukkan Bromo, atau Ditaklukkan Bromo? (part 2)


Setibanya di villa, terasa banget hawanya super duper hyper dingin banget! Padahal masih jam 4 sore, tapi udaranya lebih dingin daripada Kota Malang di malam hari. Temen-temen yang habis berenang di air terjun tadi langsung rebutan mandi. Maklum, kamar mandi villa cuma ada 2, jadi kasus antrian tak terelakkan lagi. Sementara aku, mlungker aja. Jangankan nyentuh air, nyentuh lantai aja ogah. Ini lantai apa es batu?

Selagi nungguin gilirannya mandi, beberapa temen ada yang beli-beli keperluan tambahan untuk udara dingin, seperti sarung tangan, kerpus, syal, dll. Aku sih kemarinnya sudah nyiapin segalanya dari Surabaya, sudah dianterin si pacar beli-beli segala keperluan yang kayak gitu, jadi gak perlu beli lagi. Sambil mlungker memang enak kalau sambil makan nasi bungkus, lumayan untuk mengurangi rasa kedinginan. Apalagi aku belum makan nasi sejak tadi pagi.

Jam 16:30 PM, Hilal usul untuk pergi ke puncak kawah Bromo sore itu juga. Because what? Karena kalau besok pagi kita lihat sunrise (matahari terbit) dengan jalan kaki, trus siangnya langsung dilanjut ke puncak kawah Bromo jalan kaki juga, kaki-kaki bakalan rontok dan putul semua. Yeah, beginilah kami, menghemat pengeluaran sepelit mungkin. Lebih milih jalan kaki ratusan kilometer ketimbang bayar mahal sewa mobil hardtop untuk paket tour Bromo sunrise-kawah. Oke lah, usul diterima. Aku dan beberapa temen memutuskan untuk gak mandi karena waktunya mepet, nggedor-nggedorin temen-temen lain yang masih di kamar mandi biar cepet kelar, sebab paling lambat jam 5 sore kita harus sudah berangkat. Bukan karena apa, kita ngejar waktu sebelum matahari terbenam. Gak lucu khan kalau gelap-gelap kita masih mendaki gunung.

Dengan keburu-buru, kita siapin perlengkapan pendakian. Supir mobil ELF-nya ngasihtau kalau jalan yang kita tempuh itu gak deket, dan gak jauh, tapi, sangat jauh! Bukan hanya 1 atau 2 kilometer, tapi mungkin bisa sampai puluhan kilometer. Aku nelen ludah pas denger itu. So, yang wajib kita bawa adalah senter, perbekalan makanan-minuman, serta minyak kayu putih. Jangan lupa pakai jaket, kaos kaki, sepatu, sarung tangan, syal, dan kerpus. Wow serasa bakal berpetualangan seru nih. Aku langsung ganti baju lengan panjang, pakai jaket tebel cokelat, dan luarnya dilapis lagi pakai jaket yang lebih tebel, jaketnya tanteku yang biasa dia pakai mendaki gunung waktu jadi mahasiswa pecinta alam UI. Singkatnya, segala yang aku pakai berlapis dua, alias double-double. Mulai dari jaket, kaos kaki (aku pakai kaos kaki bola yang setinggi lutut), sarung tangan, syal, bahkan kerpus juga double-double, berlapis-lapis, dan bertumpuk-tumpuk. Semua itu atas perintah si pacar yang nyuruh aku kayak gitu. "Pokoknya semua harus di double-double. Bromo itu dingin banget, gak kayak Pacet atau Malang!", gitu katanya. Jadi kemarin sorenya sebelum berangkat aku dan pacar sampai beli perlengkapan dua-dua. Meski aku punya kaos kaki, pacar beliin lagi buat di-double-in. Meski aku punya sarung tangan, pacar beliin lagi buat di-double-in. Begitu untuk seluruhnya. So sweet khan?

Jam 5 sore, kita jalan kaki menuju puncak kawah Bromo. Afif gak ikut karena dia jaga villa. Sebelum tiba di gunungnya, kita harus melewati padang pasir yang luasnya entah berapa ratus kilometer. Kilometer men, kilometer!! Karena berangkat rame-rame, ya kita asyik aja. Baru beberapa meter jalan, kakiku sudah pegel. Padahal masih 0,0001%-nya perjalanan tuh. Gunung Bromo-nya juga masih juauh buanget! Tapi aku tetep semangat, demi tiba di puncak kawah Bromo yang melegenda itu!

Perjalanan semakin jauh, aku lihat sudah jam 17:30 PM, tapi kita masih di padang pasir dan bukit-bukit batu, belum nyentuh kaki Gunung Bromo-nya. Fiuhh! Langit sudah mulai gelap. Di padang pasir seluas ini juga sudah gak ada pengunjung lain blas, cuma kita ber-duapuluhsatu yang jadi pengunjung satu-satunya.

Jam 18:00 PM. Langit sudah benar-benar gelap! Tentunya, di padang pasir dan gunung kayak gitu samasekali gak ada lampu. Udara dinginnya juga sudah semakin nyelekit, menusuk ke kulit. Di kaki gunung, jalannya mulai menanjak. Cuapek banget! Berton-ton pasir masuk ke dalam sepatu kita, tapi kita gak peduli. Beberapa temen ada yang nyerah gak kuat naik lagi, jadi mereka memilih untuk stay disana, nunggu kita-kita yang masih kuat naik untuk segera menuju puncak dan balik lagi trus lanjutin pulang ke villa bareng-bareng. Aku termasuk dalam rombongan yang masih tetep lanjut naik menuju puncak kawah. Sialnya, rombongan yang masih pada kuat-kuat ini gak ada yang bawa senter. Senter-senter yang kita bawa dari villa tadi semuanya dipakai sama rombongan temen-temen yang kita tinggalkan karena gak kuat naik tadi. Untung aja, dari ketiga ponselku, dua diantaranya ada aplikasi senter. Jadilah aku pakai salah satunya sebagai penerang kita, dan satunya gak bisa tak nyalain senternya. Bukan karena rusak, tapi karena, aku lupa gimana cara nyalain senternya!! Hoah!! Dengan udara sedingin itu, rasanya otakku beku, gak bisa mikir blas!

Selama pendakian itu, aku gupuh utak-atik hp nyari cara buat hidupin senternya, sambil gandeng tangan temenku yang nuntun aku sambil nerangin jalan pakai senter dari hp ku yang satunya. Akhirnya aku nyerah untuk hidupin senter, kita terpaksa pakai 1 senter aja. Parah abis. Jam sudah menunjukkan pukul 18:30 PM. Udara dingin semakin lama semakin ganas. Aku yang pakai pakaian serba double-double pun merasa kedinginan, gimana temen-temen lain yang cuma pakai jaket selapis aja..

Semakin naik jalannya, semakin menanjak, semakin dingin, semakin malam, dan semakin banyak pula temen-temen yang jatuh berguguran karena gak kuat untuk naik lagi ke puncak. Pada akhirnya, dari 21 orang, cuma 8 orang (termasuk aku) yang masih gigih lanjut terus mendaki. Yang aku pikirkan cuma satu, percuma gak maju sampai puncak setelah capek-capek jalan puluhan kilometer gini. Jam 18:45 PM, Nayu, Farmut, Iin, Peki, Rizal sudah tiba di puncak kawah Gunung Bromo, tanpa senter, karena satu-satunya senter yang ada cuma dari hp ku yang masih tak bawa. Gila, hebat banget sih mereka! Sementara aku, Hilal, dan Ulil baru mau naik ke tangga di kaki gunung yang menuju ke atas pucak kawah. Tangganya tuh tinggi banget, mungkin lebih dari 200 anak tangga. Aku naik mungkin baru 50 anak tangga, sudah capek buanget. Aku pun nyerah, bener-bener gak kuat naik lagi. Kekuatanku habis. Badanku gemeteran. Sumpah, kali itu sudah diluar batas kemampuanku.

Aku memutuskan nungguin mereka di tangga aja. Sebenernya eman sih, sudah sampai sejauh itu, kurang 2% lagi, tapi berhenti. Gak apa-apa lah, daripada sakit. Jadi, Hilal dan Ulil bakal terus lanjut naik ke puncak sambil bawa senterku, jemput temen-temen yang sudah sampai di puncak kawah, abis itu turun bareng-bareng jemput aku. Oke lah. Mereka berdua naik. Aku diem duduk di tangga. Aku lihat cahaya senter yang mereka bawa semakin lama semakin kecil, lalu akhirnya menghilang gak kelihatan sama sekali. Aku takut banget. Duduk sendirian di tangga Gunung Bromo, dingin, gemeteran, tanpa senter, gelap banget, aku gak bisa lihat apa-apa, serasa lagi merem. Aku mulai coba berusaha lagi nyalain senter di hp satunya yang daritadi gak bisa itu. Alhamdulillah tiba-tiba aku langsung inget cara nyalainnya. Flap! Senternya nyala. Aku lega banget. Otak manusia memang gaspol-nya kalau lagi kepepet.

Meski senterku nyala, aku gak berani gerak-gerakin senterku sembarangan. Mengingat saat itu aku lagi di daerah asing yang sakral. Semua tau, Gunung Bromo adalah tempat ibadah umat Hindu suku Tengger. Di padang pasir tadi ada Pura, tempat mereka sembahyang. Aku gak mau ambil resiko kalau misal aku senter-senterin kemana-mana trus moro-moro cahayanya menangkap sosok makhluk halus penghuni gunung. Wew, kalau aku kaget, pingsan, dan jatuh dari tangga setinggi ini, aku bisa mati. Makanya, aku ambil amannya aja, aku cuma senterin kakiku dan mandangin tali sepatuku aja. Sumpah, aku gak berani lihat kemana-mana.

Aku ngerasa temen-temen tadi kok lama banget gak turun-turun. Semakin takut ditinggal sendirian dalam kondisi kayak gitu, aku teriak, "REEEK... AYO CEPETAAAN... AKU TAAAKUUUTT...". Suaraku bukan terdengar seperti orang yang teriak, malah cenderung lebih terkesan merengek pingin nangis. Suara Hilal pun menjawab, "IYA FIIIRR. SEKARANG RIZAL TURUN BUAT JEMPUT KAMUUU... HABIS ITU KITA NYUSUL. TUNGGU YAAA!!". Yeah, kita terpaksa teriak-teriak karena jarak kita terpisah puluhan meter dengan ratusan anak tangga. Dari tempatku duduk sendiri itu, aku bisa lihat ada 2 titik kecil yang bersinar dari padang pasir di bawah. Aku yakin, itu adalah sinyal dari senter temen-temenku yang nungguin kita untuk segera turun dan pulang ke villa bareng-bareng. Aku mulai merasa agak tenang waktu cahaya senter yang dibawa Rizal turun semakin deket menuju ke arahku. Terlebih waktu Rizal berkali-kali manggil namaku hanya untuk memastikan aku masih ada disana.

Akhirnya Rizal sampai, dia duduk di sebelahku. "Aku laper, tanganku gemeteran..." keluhku. Rizal nyuruh aku makan cokelat sebagai pengisi kalori. Satu-satunya cokelat yang ada di tasku cuma wafer. Langsung aku lahap sendirian karena Rizal nolak waktu tak tawarin. Kita berdua nunggu temen-temen yang di atas turun. Jam 19:15 PM, kita berdelapan sudah kumpul lagi, capcus turun tangga, menuju ke tempat dimana temen-temen yang lain pada nunggu di padang pasir.

Untuk menuju ke tempat titik-titik cahaya senter temen-temen yang lain itu gak gampang. Gimana nggak, jalannya gak kelihatan sama sekali. Apalagi medannya berbatu, berbukit, dan berpasir. Sampai perosotan di batu-batu berpasir curam pun kita jabanin. Untung kita bisa kembali jadi rombongan 21 orang lagi setelah berjuang keras. Kita semua masih harus lanjut jalan lagi menuju villa yang jaraknya puluhan kilometer. Sebelum melanjutkan perjalanan, Rizal mimpin doa supaya kita diberi perlindungan keselamatan dan kemudahan melewati ini semua. Semakin malam, udara dinginnya semakin liar. Beberapa temen ada yang jatuh sakit, pertahanan tubuhnya gak sanggup melawan hawa dingin gunung. Darah pun rasanya kayak membeku. Memang, ancaman terbesar kami ketika itu adalah hipotermia. Naudzubillah. Kita harus tetep jalan terus biar segera sampai villa dan istirahat. Sesekali kita berhenti untuk minum, makan snack, berhitung (untuk memastikan gak ada yang ketinggalan), dan mencari jalan diantara kegelapan. Kebetulan Dita bawa Galaxy Tab-nya yang ada aplikasi kompas. Kita cuma bisa mengandalkan arah kompas yang bahkan itu kita duga-duga sendiri harus ke arah mana.

Jam 20:15 PM. Kita kesasar total. Padahal sudah menempuh perjalanan jauh berjam-jam, tapi  samasekali gak semakin dekat dengan lampu-lampu restoran dan villa disana. Malah kayaknya semakin jauh. Perasaan kita sudah jalan lurus, bahkan dibantu kompas. Tapi kok gini. Hanya ada dua kemungkinan, kita benar-benar tersesat, atau ada makhluk-makhluk gunung yang menyasarkan kita sehingga kita jadi hanya berputar-putar aja disitu. Who knows.

Buntu sebuntu-buntunya. Solusi terakhir adalah: telepon bapak pemilik villa. Di padang pasir dan gunung kayak gitu lho Alhamdulillah ada sinyal. Iin telepon Pak Tono (bapak villa), nanyain arah. Tapi bapaknya cuma nyuruh kita untuk berdiri di bukit batu tertinggi dan ngasih sinyal dengan senter, karena nanti bapaknya bakal nyamperin kita. Oke. Sambil nunggu Pak Tono, kita juga tetep jalan terus biar semakin cepet sampai.

Agak beberapa lama, kita ketemu juga dengan Pak Tono. Woah, girang setengah mampus deh, seolah nemu oasis di gurun. Bapaknya bawa 1 ojek, untuk angkut anak yang sakit. Windy dan Ucil pun naik ojek karena kondisi mereka berdua yang paling parah diantara kami. Sisanya, lanjut jalan terus bareng Pak Tono. Aku jalan tepat di belakang Pak Tono untuk menyinari jalan di depan kami. Pak Tono bilang ke aku: "Satu-satunya yang kita takutkan kalau sudah malem gini cuma satu mbak, kabut! Untung kebetulan malam ini gak berkabut. Kalau misalnya berkabut ya mbak, senter jadi percuma karena jarak pandangnya pendek, 1 meter aja sudah gak kelihatan. Nah apalagi kalau kayak kalian gini, minta bantuan. Gak bakal kelihatan mbak. Penduduk sini gak bakalan tau kalau masih ada pengunjung kesasar di gunung". Mendengar penjelasan itu, lututku lemes. Astaga, jadi daritadi kita semua ini hampir seperti berjuang melawan maut ya. Edan!

Gak lama, ada ojek dateng lagi, siap jemput anak-anak yang sakit atau gak kuat jalan. Tapi kali ini temen-temen pada gak ada yang mau naik, pada bilang kalau mereka masih kuat. Walah, eman lho, sudah dijemput ojek gini padahal. "Kalau gak ada yang mau naik, aku yang naik lho" kataku ke temen-temen. Jadilah akhirnya aku yang naik ojek. Muehehehe.

Alhamdulillah. Kakiku selamat dari siksaannya. Dalam perjalanan, aku tanya ke tukang ojeknya, "Kalau kayak gini ini, suhu udaranya berapa pak?". Bapaknya jawab, "Yaa kurang lebih sekitar 7 derajat celcius mbak. Malah kalau bersalju bisa sampai nol derajat. Tapi untung malam ini gak berkabut. Tadi saya kebetulan lihat-lihat gunung dan kaget ngelihat ada cahaya senter. Sudah semalem ini tapi kok masih ada tamu? Langsung saya jemput mbak!". Duar! Kata-katanya hampir mirip dengan kata-katanya Pak Tono. Aku merinding. Selama perjalanan menuju villa aku gak berani tanya-tanya lagi. Aku gak mau mendengar apapun lagi yang lebih buruk dari ini semua.

Sampai villa, aku bayar ojeknya 25ribu, meski mahal tapi worth it lah dengan keselamatan kakiku. Di dalam villa, Ucil tepar di tempat tidur, kayaknya dia demam. Sementara Windy baru aja selesai sholat. Afif nyamperin aku minta diceritain, tapi aku kepingin mandi dulu. Pas mandi, woah, airnya super gila dingin. Untuk sabunan aja aku mati rasa, hampir beku. Mandinya tak cepet-cepetin, langsung ganti baju dan kelukupan pakaian plus jaket double-double lagi. Habis itu baru aku ceritain semuanya ke Afif.

Jam 21:15 PM, temen-temen yang lain baru tiba di villa. Nggeblak semua di tikar. Setelah istirahat beberapa menit, kita makan malam dengan nugget dan sosis goreng. Meski sederhana, tapi rasanya seperti makanan terenak di dunia! Habis makan, Pak Tono nyiapin api unggun di halaman villa. Sayang, api unggunnya kurang ter-apresiasi karena banyak yang sudah tidur kecapekan. Cuma aku dan 4 orang lainnya aja yang menikmati api unggunnya sampai padam.

Begitu masuk ke dalam villa lagi, ternyata sudah ada hasil rapat kalau besok pagi waktu kita lihat sunrise di Penanjakan, kita nyewa mobil hardtop aja. Mau gimana lagi. Bayangin aja, jauhnya menuju Penanjakan tempat view spot sunrise itu, dua kali lipat jauhnya menuju puncak kawah Bromo. Sinting banget kalau kita masih tetep pingin jalan kaki setelah semua yang kita lewati malam ini. Rencana awal lihat sunrise dengan jalan kaki kita coret. Demi kesehatan, kita bayar 65ribu per orang untuk sewa 3 mobil hardtop yang tarifnya 350ribu/6 orang. Oya, sudah tau mobil hardtop khan? Itu loh, mobil off-road 4X4 yang keempat rodanya muter (mobil biasa cuma dua roda belakang yang muter).

Malam itu kita tutup dengan istirahat massal. Gak ada acara begadang seperti waktu kita nginep di Pacet pada liburan semester lalu. Kita harus bangun jam 2:30 AM karena mobilnya bakal jemput jam 3:00 AM. Kita harus kejar waktu sebelum matahari terbit, sementara untuk mencapai view spot, butuh waktu berjam-jam perjalanan naik mobil.

.......bersambung 
Read More - Menaklukkan Bromo, atau Ditaklukkan Bromo? (part 2)

Wednesday, July 11, 2012

Menaklukkan Bromo, atau Ditaklukkan Bromo? (Part 1)

Bingung mau nulis mulai dari mana.
Banyak banget yang pingin tak ceritain..

****

Aku yakin banget petualangan kita kali ini gak akan pernah kita lupain sampai kapanpun! :D

Senin, 9 Juli 2012. Jam 5:45 AM. Aku baru bangun tidur karena ada BBM masuk dari Fuad. Singkatnya dia bilang: "Fir, jam 6 lho. Sudah bangun belum?". Kemudian seorang Shafira pun panik karena sesungguhnya rencana pemberangkatan kami dijadwalkan pukul 6 pagi. Lah itu baru bangun jam berapa? Ckck..

Yeah, kebiasaan mbangkong-ku memang sudah melegendaris sejak 1927. Sekitar jam 6:50 AM aku baru sampai di Kampus B depan PINLABS UNAIR. Semua sudah datang. Sepertinya kok mereka nunggu seseorang sampai pemberangkatan jadi tertunda 1 jam. Eh, ternyata mereka nungguin aku! Hehehe.... (garuk-garuk kepala)

Kita berangkat, 22 orang, naik 2 unit mobil ELF. Di mobil yang aku naiki, temen-temen pada nyanyi-nyanyi. Sampai pada akhirnya, si Fuad nyetel MP3 dari ponselnya sebab playlist yang disuguhkan oleh bapak supirnya kurang berkenan dengan selera musik anak muda gaul seperti kita. Yeah, meski kita mahasiswa ilmu sains, kita juga gak kalah gaul bro! (apaan...)

Eits, tapi jangan salah.... MP3 yang Fuad setel bukan lagu-lagu galau ataupun lagu jingkrak-jingkrak gitu, melainkan sebuah rekaman Tausyiah Agama. Ngerti tausyiah khan? Ceramah! Iya, ceramah agama! Tapi ini ceramah agama yang lain daripada yang lain loh. Kyai yang ngasih ceramah tuh lucu abeess!! Kocak badai!! Meskipun isi ceramahnya berbahasa guyonan jawi alus, kita masih bisa ngerti artinya kok, dan yang paling penting, makna utama isi ceramahnya juga gak nyimpang dari ajaran agama. Ide Fuad itu sukses bikin kita ngakak sepanjang jalan, ketimbang dengerin lagu ngebosenin dari stock playlist supir mobilnya. Hwokwokwok!

Capek ketawa, aku ketiduran. Trus temen-temen yang lain ngapain aja selama aku tidur? Mana gue tau! Yang aku tau, pas aku kebangun kita sudah masuk gerbang air terjun Madakaripura. Hah?? Air terjun?? Katanya gak ke air terjun? Gimana sih? Tiwas aku tadi gak bawa sandal! (lompat ke jurang)

Mobil masuk dan parkir. Sebelum turun, temen-temen pada ganti alas kaki pakai sandal. Aku cuma diem. Menatap jendela mobil dengan pandangan kosong. Pura-pura gak liat mereka. Aku hanya bisa berteriak dalam hati: "INI TIDAK ADIL! Kenapa aku gak dikasitau kalau rencana ke air terjunnya gak jadi batal? Kenapa cuma aku yang gak dikasitau? Itu yang lain pada siap sandal semua. Tapi aku?". Ah sudahlah.... Satu-satunya yang ada di pikiranku cuma sandal jepit merk League warna kuning kesayanganku yang tadi pagi sengaja nggak tak masukin tas, tak taruh aja di teras rumah karena ngirain acara ke air terjunnya batal, seperti keputusan yang diambil dalam rapat. Shafira pun galau tingkat langit lapis tujuh.

Pesan Moral: "Selalu bawalah sandal jepit kemanapun tujuan wisata anda. Entah itu bakal dipakai atau enggak, udah, bawa aja!!"

Semua siap. Aku mencuri lirik ke kaki para teman-temanku. Oh pinter sekali, semua sudah ganti pakai sandal ya. Wow. Trus apa yang harus aku lakukan? Lepas sepatuku? Atau curi sandalnya salah satu teman dan ngelempar orangnya ke air terjun? Bagiku, galau itu bukan tentang cinta, galau itu ya gini ini, tentang gak bawa sandal!

Ternyata eh ternyata, pas aku lirik-lirik ke kaki-kaki mereka, ada satu hal yang sedikit melegakan hati. Ada seseorang yang masih bersepatu! Dia adalah Hilal. Oh... Cowok. Dia sih pasti kuat jalan tanpa alas kaki. Tapi bagi aku yang kulitnya setipis sutera gini, bakal terasa seperti atraksi kuda lumping jalan di atas bara api. Kenyataan itu samasekali gak mengurangi rasa galau-ku, ditambah ketika Hilal benar-benar memutuskan untuk melepas sepatunya dan berjalan tanpa alas kaki. Shit! I'm fucked!

Ah, paling juga rute-nya sama kayak air terjun Cuban Canggu di Pacet atau kayak Cuban Rondo. Disana khan gak lepas sepatu masih tetep gak basah karena ada jalan setapak dan jembatannya. Dengan keyakinan pemikiran sok tau-ku itu, aku berjalan dengan sepatuku tanpa memperhatikan apa kata teman-teman yang memandangku melas, seakan aku anak miskin yang gak bisa beli sandal. Grrr.. Lo pada gak ngerti, sebenernya gue punya sandal, dan sandal gue pun harganya gak kalah mahal dengan sepatu yang gue pake kok! (Shafira, kamu sabaro...)

Firasatku gak enak saat kita harus menyewa seorang tour guide untuk perjalanan menuju air terjun. Hey bro, buat apa? Emangnya kita gak bisa jalan sendiri kayak wisata di air terjun lain? Dalam beberapa meter perjalanan, pertanyaanku pun terungkap. Di salah satu medan, aku terpaksa melepas sepatuku dan berjalan telanjang kaki. Di situ medannya curam, kita dikelilingi tebing super tinggi, harus turun ke air dimana terdapat banyak batu-batu besar. Waktu aku mulai nyebrang air dan nginjek batu-batu besar yang licin dan tajam, aku meringis kesakitan. Airnya dingin pula! Oh gosh.. Gak ada jembatan kayak di air terjun Pacet gitu tah? Jawabannya, gak ada! Aku nahan nangis. Aku pingin pulang :(

Bapak guide yang melihat gadis cantik ini meringis kesakitan langsung sigap bertindak. Beliau meminjamkan sandalnya ke aku dan bersedia untuk membawakan sepatuku meski beliau jalan tanpa alas kaki. Astaga, bapak ini hatinya terbuat dari apa sih? Baik bangeeeettt!!

Kami semua melewati perjalanan sepanjang 2 km (kilometer) dengan medan batu-batu besar, jurang-jurang, serta tebing-tebing yang bertubi-tubi harus kita lewati demi tujuan akhir yang indah. Kesialan kedua yang aku alami adalah, aku pakai celana jeans model pensil. Yap, semua orang tau kalau model jeans kayak gitu tuh gak bisa dilinting keatas. Jadilah aku merelakan celanaku basah saat nyebrang hiliran air. Mana aku gak bawa ganti jeans lagi pula. Perfecto!

Separuh perjalanan, kita sudah capek buanget! Sudah berkali-kali lewati hutan, terperosok tebing, terpeleset batu, tergelincir jurang, sandal hanyut terbawa arus air, dll. Inilah mengapa kita WAJIB menyewa seorang tour guide. Karena medan perjalanannya sangat berbahaya dan sangat amat jauh banget! Tempat wisata air terjun di Pacet mah 2X lebih AMAN daripada disini. Sumpah ini kalau orang gak ngerti rute bisa kesasar dan celaka. Tapi berkat semangat bahu-membahu, sesaat lagi kita semua akan tiba di air terjun pertama yang itu pun masih 75% perjalanan.

Kita istirahat bentar. Kata si bapak guide, saat kita melewati air terjun yang pertama nanti, kita gak bisa menghindari airnya. Semua pasti basah kuyup karena jatuhan airnya seperti hujan deras. Gak ada daerah kering. Dan disitu pun banyak orang nyewain payung. Jadi barang-barang elektronik sebaiknya ditaruh kresek. Kita akhirnya beli kresek besar untuk wadah tas dan jaket supaya gak basah.

Bener aja, di air terjun yang pertama ini sensasinya luar biasa keren dan seru. Kita serasa disiram hujan yang gak berhenti-berhenti di sepanjang jalan. Kita berjalan maju terus di antara celah tebing air terjun yang sempit, melewati terjangan derasnya air terjun yang gak berhenti membasahi tiap inchi tubuh kita dari atas ke bawah. Wow!! Wonderful! Susah dijelaskan dengan kata-kata deh! Semua pada teriak-teriak dan ketawa. Gak ada yang mau nyewa payung karena justru serunya basah-basahan ini yang kita cari!

Perjalanan diteruskan, air terjun "hujan" itu kita tinggalkan, menuju ke air terjun utama di akhir perjalanan. Masih dengan medan terjal, curam, dan bahaya yang sama. Masih saling angkat-mengangkat teman untuk naik ke atas, gandeng-gandengan teman saat menyebrang air atau menuruni medan terjal. Super seru pokoknya. Serasa berpetualang di Hutan Amazon! Nah loh..

Daaaann... Tararaaa... Sampailah kita pada tujuan akhir. Air terjun utama Madakaripura. Air terjunnya sudah tampak di depan mata. Tapi sebelumnya kita harus melewati satu medan lagi yang  bagiku merupakan medan ter-mengerikan dari medan-medan berbahaya sebelumnya. Disitu ada dinding tebing yang menonjol besar, menutupi jalan kita untuk menuju air terjun. Cara lewatnya, kita jadi cicak. Nempel dan merayap di lengkungan dinding tonjolan tebing licin itu buat nyebrang. Piye ya, kalau gak digambar pakai gambar oret-oretan gitu, susah dideskripsikan. Yang bikin aku pol takut banget, di bawahnya ada jurang langsung yang menganga, mana tinggi banget! Jadi seumpamanya kita kepeleset saat merayap di batu tonjolan itu, kita bakal jatuh bebas, kecemplung jurang dengan aliran air deras karena itu muara pertama air terjun utamanya. Naudzubillah!

Aku merayap dengan tangan bergetar hebat. Gak bisa nolak untuk gak lihat ke bawah. Aku pingin merem, tapi ntar malah jatuh karena aku gak bisa lanjut jalan saat tanganku sudah mulai licin megang batu pegangannya. Pilihannya cuma dua, terus bergerak maju, atau jatuh. Mulutku komat-kamit baca Bismillah. Pikiranku berbisik: "Please jangan mati sekarang!".

Ajaibnya, aku berhasil melewati benda mengerikan itu. Hadiahnya apa? Sebuah pemandangan air terjun paling spektakuler yang pernah dilihat langsung oleh mataku! Subhanallah... Allahu Akbar!!! Air terjun super tinggi, menggerojokkan triliunan liter air dengan kecepatan ratusan knot. Sebuah danau mini seolah menampung tumpahan airnya. Gak sia-sia menempuh 2 km perjalanan berbahaya kalau buahnya begitu menyejukkan mata. Duh kalau ditulis gini memang gak bisa menggambarkan maha-indahnya. Semua mulut kami saat itu berlomba-lomba mengucapkan kalimat pujian terhadap kehebatan Allah SWT. Siapa lagi yang bisa menciptakan kedahsyatan ini selain Allah? Aku heran terhadap orang atheis yang meragukan keberadaan Allah. Ada bukti luar biasa kayak gini tapi mereka masih gak percaya akan adanya Tuhan. Astaghfirullah.

Bapak guide ngasih info, kedalaman danau di sebelah kiri sekitar 7 meter, dan di sebelah kanan yang air terjunnya agak kecil dalemnya 4 meter. Boleh berenang, asal jangan yang di danau sebelah kiri. Meski orang jago renang, mereka gak akan bisa selamat karena di bawah danau yang tepat berada pada gerojokan air terjun utama terdapat gaya hisap seperti pusaran air. Entah itu apa. Tapi sudah banyak menelan korban jiwa. Sebagai pengunjung/tamu, kita memang selayaknya menghargai kepercayaan yang ada demi keselamatan diri.

Oya sekedar info nih. Disamping keindahan air terjun Madakaripura, kalau kita perhatikan di baliknya terdapat sebuah gua. Nah gua itu adalah tempat meditasi atau bertapa-nya Gajah Mada. Udah pada tau Gajah Mada khan? Itu loh, binatang besar yang belalainya panjang. Hahahaha! Gak lucu..

Capcus langsung semua foto-foto. Bahkan ada yang renang. Iya, renang. Pakai baju lengkap, beserta cardigan, dan celana jeans. Super sekali! Tapi apesnya (apes melulu nih), maag-ku kambuh. Nyosss... panas perutku. Sial! Aku langsung minggir ke tepi dimana tas-tas para prekintil itu disimpan. Mending aku jaga tas aja, sambil megangin perutku (lambai-lambaikan tangan ke kamera).

Setelah semua puas foto-foto dan renang, mmm... setelah semua membeku kedinginan lebih tepatnya, kita memutuskan untuk balik. Satu hal yang gak aku suka, kita harus melewati tonjolan tebing mengerikan itu LAGI! Ya Allah, aku lebih milih nonton film horor 48 jam nonstop daripada merayapi batu tonjolan extra-horor ini meski cuma 3 menit! Karena temen-temen pada kedinginan pingin buru-buru balik, jadilah aksi perayapan massal itu menimbulkan antrian. Adegan paling tegang dimulai, saat aku lagi konsen merayapi nasib (eh, itu meratapi deng!). Ulang. Saat aku lagi konsen merayap dengan mengerahkan seluruh keberanian, ternyata di depanku ada Nayu yang masih diem, nunggu anak di depannya lagi untuk dibantu melewati batu gila ini. Jadilah aku diem juga, terpaku, tak bergerak, tak bergeser, memijak pada batu yang semakin licin, tanganku mencengkram kuat bagian batu yang juga semakin licin. Aku nelen ludah pas lihat jurang di bawah. Badanku kaku dan gemeteran. Peganganku sudah gak mantep lagi, hampir lepas. Aku gak tahan. Phobia tempat tinggi-ku kambuh...

Gak terasa, aku menitikkan air mata dan mulai merengek "Aaakuu taaakuuutt... Woaaaaa... Tooloooong... Hwaaa... Hwaaa...". Melihat kondisiku yang kayak orang gak punya harapan hidup, Rizal langsung buru-buru bantuin aku, dia langsung cepet megang tanganku, menyelamatkanku dari keputus-asaan. Meski Rizal sudah megang tanganku ditambah bapak guide megang tanganku yang satunya, aku tetep sangat takut bergerak. Panas asam lambung di perutku semakin keras, mataku terpejam, aku pasrah. Tapi Rizal teriak: "Gak usah takut! Aku pegangin kamu! Bentar lagi nyampe! Ayo gerak!". Sekarang, selain aku takut sama jurang, aku juga takut sama bentakannya Rizal.

Entah gimana prosesnya, akhirnya aku berhasil lewatin benda gila itu. Mungkin ada malaikat yang tadi gendongin aku terbang kali ya. Wallahua'lam. Tapi Alhamdulillah Allah masih ngasih aku umur panjang (raba-raba pipi, melototin tangan). Perjalanan dilanjutkan. Bapak guide pun setia berada di sisiku karena perintahnya Rizal untuk jagain aku, personil yang paling merepotkan ini. Kita semua mengulangi medan-medan terjal nan curam lagi. Setiap aku mau jalan, bapak guide-nya langsung cekatan bantuin aku. Tapi setelah aku berhasil lewatin medannya, temen-temen lain malah gak dibantuin sama bapaknya. Mana bapaknya juga rela bawain semua barang-barangku pula, tapi punya temen-temen yang lain enggak. Ya ampun pak, gak gitu-gitu juga kaleeee. Aaaduuuhhh.... (ala sketsa).

Total kita menempuh perjalanan 4 km bolak-balik. Kalau jarak segitu di jalanan aspal sih gak masalah. Tapi kalau........ Ah, sudahlah....

Kita semua kembali ke tempat parkir mobil dengan selamat. Capek. Ngos-ngosan. Aku kembaliin sandal bapaknya yang aku pinjem. Setelah kegiatan sholat-sholat serta ngakak guyon bersama, kita masuk ke mobil, lanjutin tujuan berikutnya, ke villa!!!

.......bersambung
Read More - Menaklukkan Bromo, atau Ditaklukkan Bromo? (Part 1)

Friday, July 6, 2012

hantu wanita

Pengalaman ini terjadi padaku belum lama, kira-kira dua bulan yang lalu. Aku adalah seorang mahasiswi jurusan teknik di sebuah universitas negeri di Bandung. Hari itu adalah hari yang melelahkan untukku, karena hari itu aku menjalani ujian tiga mata kuliah sekaligus. Dari pagi hingga sore. Ditambah lagi hari itu aku kebetulan sedang datang bulan hari kedua.

Sekitar pukul tiga sore, saat pergantian ujian, aku meminta izin kepada pengawas untuk ke kamar mandi. Aku merasa sangat tidak nyaman. Aku harus mengganti pembalut. Akhirnya dengan tergesa-gesa, aku ke kamar mandi kampus dan mengganti pembalut. Pembalut yang lama aku taruh begitu saja di tempat sampah kamar mandi dan aku pun menggantinya dengan yang baru. Karena akan menghadapi ujian berikutnya, aku segera meninggalkan kamar mandi dengan terburu-buru.

Sekitar pukul tujuh malam, aku sampai di kost-an. Aaaah, lega rasanya! Dengan cepat aku membuka kunci kamar, melemparkan tas dan jaket yang sedang kupakai, dan menyambar alat mandi yang digantung di depan kamarku.

Kamar yang aku tempati letaknya agak jauh dari kamar mandi. Maklum, demi mendapatkan harga murah, aku memilih tempat kost yang tidak terlalu mewah. Untuk menuju kamar mandi, aku harus melewati tiga kamar dan satu lorong. Heran, jam segini kok anak-anak belum pada pulang, gak kayak biasanya. Aku jadi agak merinding.

Saat membuka baju aku mulai merasa udara ternyata menjadi lebih dingin dari yang kubayangkan. Aahh, tapi aku harus memaksakan diri untuk mandi, karena kondisi badanku tidak bersih. Biasalah kalau lagi dapet. Aku juga membuka pembalut yang tadi sore aku ganti di kampus, dan aku menaruhnya di pojok kamar mandi.

Akhirnya aku mulai membersihkan badanku. Astagaaa dingin sekali! Dingin, tapi sangat menyegarkan. Aku merasa beban seharian tadi hilang. Aku mulai mengguyur kepalaku sekali lagi, dan ketika aku membuka mata, aku.... aku melihat seolah ada yang sedang mengintipku dari celah pintu. Tapi... ah, mungkin cuma perasaanku saja! Aku agak mempercepat mandinya dan segera membersihkan pembalut yang aku taruh di pojok kamar mandi.

Aku mengambil pembalut itu, dan belum sempat aku membersihkannya, lampu kamar mandi tiba-tiba mati. Ah! Sial! Lalu aku mencoba mencari korek gas yang biasanya disimpan anak-anak di atas pintu kamar mandi. Mereka biasa menyimpan itu untuk keperluan mereka saat ingin merokok. Biasalah, supaya tidak ketahuan. Namanya juga kost-an cewek.

Kemudian aku mencoba menyalakan koreknya, tapi baru sebentar apinya menyala, sudah mati lagi seperti tertiup angin. Aku mengulangi menyalakan korek itu.... ssshhhh.... Lagi-lagi padam tertiup angin. Aku diam sejenak. Dan mencoba menyalakan kembali tapi tetap sama... Astaga... Aku jadi merinding!!! mana sepi lagi. Untuk kesekian kalinya aku mencoba menyalakan korek.

KLIK!!

Kali ini korek berhasil menyala. Ketika aku sedang mencari pembalut yang tadi kutaruh di pojok kamar mandi..... Astaga!!!!! Di depanku...... di depanku terlihat sosok perempuan yang menyeramkan!!! Dia berjongkok di pojok kamar mandi sambil memegangi sesuatu....

Saat kulihat, dia... dia... dia memegang pembalut yang tadi aku taruh di pojokan kamar mandi itu! Mulutnya tampak menyeringai seram dan lidahnya tiba-tiba keluar. Lidahnya panjang dan menjilati pembalutku!!!

Aku perlahan mundur dan mencoba membuka pintu kamar mandi. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka. Aku menjerit dalam hati... Astaga... Bagaimana ini?!

Sekilas kulihat perempuan itu melirik ke arahku sambil menjilat dengan lahap pembalutku. Dan beberapa detik kemudian lampu tiba-tiba menyala! Perempuan itu hilang!!!

Pintu yang sejak tadi aku coba buka, juga akhirnya berhasil dibuka. Aku segera berlari keluar dan masuk ke kamar. Aku berlari ke arah tempat tidurku dan menutup diri dengan bantal dan selimut. Sayup-sayup terdengar suara perempuan tertawa cekikikan di depan kamarku.
  
Keesokan paginya, ketika aku bercerita, teman-temanku bilang itu terjadi karena aku lupa membersihkan pembalut sebelum aku membuangnya di kamar mandi kampus! Bau anyir-nya mengundang makhluk halus untuk mengikutiku.



Source: Buku "Nightmare Side" by Tim Nightmare Side Ardan 105,9 FM Bandung 
Read More - hantu wanita

twitter

follow my blog

 

Copyright © Shafira. Template created by Volverene from Templates Block
WP by WP Themes Master | Price of Silver