continuation from: Menaklukkan Bromo, atau Ditaklukkan Bromo? (part 1)
Setibanya di villa, terasa banget hawanya super duper hyper dingin banget! Padahal masih jam 4 sore, tapi udaranya lebih dingin daripada Kota Malang di malam hari. Temen-temen yang habis berenang di air terjun tadi langsung rebutan mandi. Maklum, kamar mandi villa cuma ada 2, jadi kasus antrian tak terelakkan lagi. Sementara aku, mlungker aja. Jangankan nyentuh air, nyentuh lantai aja ogah. Ini lantai apa es batu?
Selagi nungguin gilirannya mandi, beberapa temen ada yang beli-beli keperluan tambahan untuk udara dingin, seperti sarung tangan, kerpus, syal, dll. Aku sih kemarinnya sudah nyiapin segalanya dari Surabaya, sudah dianterin si pacar beli-beli segala keperluan yang kayak gitu, jadi gak perlu beli lagi. Sambil mlungker memang enak kalau sambil makan nasi bungkus, lumayan untuk mengurangi rasa kedinginan. Apalagi aku belum makan nasi sejak tadi pagi.
Jam 16:30 PM, Hilal usul untuk pergi ke puncak kawah Bromo sore itu juga. Because what? Karena kalau besok pagi kita lihat sunrise (matahari terbit) dengan jalan kaki, trus siangnya langsung dilanjut ke puncak kawah Bromo jalan kaki juga, kaki-kaki bakalan rontok dan putul semua. Yeah, beginilah kami, menghemat pengeluaran sepelit mungkin. Lebih milih jalan kaki ratusan kilometer ketimbang bayar mahal sewa mobil hardtop untuk paket tour Bromo sunrise-kawah. Oke lah, usul diterima. Aku dan beberapa temen memutuskan untuk gak mandi karena waktunya mepet, nggedor-nggedorin temen-temen lain yang masih di kamar mandi biar cepet kelar, sebab paling lambat jam 5 sore kita harus sudah berangkat. Bukan karena apa, kita ngejar waktu sebelum matahari terbenam. Gak lucu khan kalau gelap-gelap kita masih mendaki gunung.
Dengan keburu-buru, kita siapin perlengkapan pendakian. Supir mobil ELF-nya ngasihtau kalau jalan yang kita tempuh itu gak deket, dan gak jauh, tapi, sangat jauh! Bukan hanya 1 atau 2 kilometer, tapi mungkin bisa sampai puluhan kilometer. Aku nelen ludah pas denger itu. So, yang wajib kita bawa adalah senter, perbekalan makanan-minuman, serta minyak kayu putih. Jangan lupa pakai jaket, kaos kaki, sepatu, sarung tangan, syal, dan kerpus. Wow serasa bakal berpetualangan seru nih. Aku langsung ganti baju lengan panjang, pakai jaket tebel cokelat, dan luarnya dilapis lagi pakai jaket yang lebih tebel, jaketnya tanteku yang biasa dia pakai mendaki gunung waktu jadi mahasiswa pecinta alam UI. Singkatnya, segala yang aku pakai berlapis dua, alias double-double. Mulai dari jaket, kaos kaki (aku pakai kaos kaki bola yang setinggi lutut), sarung tangan, syal, bahkan kerpus juga double-double, berlapis-lapis, dan bertumpuk-tumpuk. Semua itu atas perintah si pacar yang nyuruh aku kayak gitu. "Pokoknya semua harus di double-double. Bromo itu dingin banget, gak kayak Pacet atau Malang!", gitu katanya. Jadi kemarin sorenya sebelum berangkat aku dan pacar sampai beli perlengkapan dua-dua. Meski aku punya kaos kaki, pacar beliin lagi buat di-double-in. Meski aku punya sarung tangan, pacar beliin lagi buat di-double-in. Begitu untuk seluruhnya. So sweet khan?
Jam 5 sore, kita jalan kaki menuju puncak kawah Bromo. Afif gak ikut karena dia jaga villa. Sebelum tiba di gunungnya, kita harus melewati padang pasir yang luasnya entah berapa ratus kilometer. Kilometer men, kilometer!! Karena berangkat rame-rame, ya kita asyik aja. Baru beberapa meter jalan, kakiku sudah pegel. Padahal masih 0,0001%-nya perjalanan tuh. Gunung Bromo-nya juga masih juauh buanget! Tapi aku tetep semangat, demi tiba di puncak kawah Bromo yang melegenda itu!
Perjalanan semakin jauh, aku lihat sudah jam 17:30 PM, tapi kita masih di padang pasir dan bukit-bukit batu, belum nyentuh kaki Gunung Bromo-nya. Fiuhh! Langit sudah mulai gelap. Di padang pasir seluas ini juga sudah gak ada pengunjung lain blas, cuma kita ber-duapuluhsatu yang jadi pengunjung satu-satunya.
Jam 18:00 PM. Langit sudah benar-benar gelap! Tentunya, di padang pasir dan gunung kayak gitu samasekali gak ada lampu. Udara dinginnya juga sudah semakin nyelekit, menusuk ke kulit. Di kaki gunung, jalannya mulai menanjak. Cuapek banget! Berton-ton pasir masuk ke dalam sepatu kita, tapi kita gak peduli. Beberapa temen ada yang nyerah gak kuat naik lagi, jadi mereka memilih untuk stay disana, nunggu kita-kita yang masih kuat naik untuk segera menuju puncak dan balik lagi trus lanjutin pulang ke villa bareng-bareng. Aku termasuk dalam rombongan yang masih tetep lanjut naik menuju puncak kawah. Sialnya, rombongan yang masih pada kuat-kuat ini gak ada yang bawa senter. Senter-senter yang kita bawa dari villa tadi semuanya dipakai sama rombongan temen-temen yang kita tinggalkan karena gak kuat naik tadi. Untung aja, dari ketiga ponselku, dua diantaranya ada aplikasi senter. Jadilah aku pakai salah satunya sebagai penerang kita, dan satunya gak bisa tak nyalain senternya. Bukan karena rusak, tapi karena, aku lupa gimana cara nyalain senternya!! Hoah!! Dengan udara sedingin itu, rasanya otakku beku, gak bisa mikir blas!
Selama pendakian itu, aku gupuh utak-atik hp nyari cara buat hidupin senternya, sambil gandeng tangan temenku yang nuntun aku sambil nerangin jalan pakai senter dari hp ku yang satunya. Akhirnya aku nyerah untuk hidupin senter, kita terpaksa pakai 1 senter aja. Parah abis. Jam sudah menunjukkan pukul 18:30 PM. Udara dingin semakin lama semakin ganas. Aku yang pakai pakaian serba double-double pun merasa kedinginan, gimana temen-temen lain yang cuma pakai jaket selapis aja..
Semakin naik jalannya, semakin menanjak, semakin dingin, semakin malam, dan semakin banyak pula temen-temen yang jatuh berguguran karena gak kuat untuk naik lagi ke puncak. Pada akhirnya, dari 21 orang, cuma 8 orang (termasuk aku) yang masih gigih lanjut terus mendaki. Yang aku pikirkan cuma satu, percuma gak maju sampai puncak setelah capek-capek jalan puluhan kilometer gini. Jam 18:45 PM, Nayu, Farmut, Iin, Peki, Rizal sudah tiba di puncak kawah Gunung Bromo, tanpa senter, karena satu-satunya senter yang ada cuma dari hp ku yang masih tak bawa. Gila, hebat banget sih mereka! Sementara aku, Hilal, dan Ulil baru mau naik ke tangga di kaki gunung yang menuju ke atas pucak kawah. Tangganya tuh tinggi banget, mungkin lebih dari 200 anak tangga. Aku naik mungkin baru 50 anak tangga, sudah capek buanget. Aku pun nyerah, bener-bener gak kuat naik lagi. Kekuatanku habis. Badanku gemeteran. Sumpah, kali itu sudah diluar batas kemampuanku.
Aku memutuskan nungguin mereka di tangga aja. Sebenernya eman sih, sudah sampai sejauh itu, kurang 2% lagi, tapi berhenti. Gak apa-apa lah, daripada sakit. Jadi, Hilal dan Ulil bakal terus lanjut naik ke puncak sambil bawa senterku, jemput temen-temen yang sudah sampai di puncak kawah, abis itu turun bareng-bareng jemput aku. Oke lah. Mereka berdua naik. Aku diem duduk di tangga. Aku lihat cahaya senter yang mereka bawa semakin lama semakin kecil, lalu akhirnya menghilang gak kelihatan sama sekali. Aku takut banget. Duduk sendirian di tangga Gunung Bromo, dingin, gemeteran, tanpa senter, gelap banget, aku gak bisa lihat apa-apa, serasa lagi merem. Aku mulai coba berusaha lagi nyalain senter di hp satunya yang daritadi gak bisa itu. Alhamdulillah tiba-tiba aku langsung inget cara nyalainnya. Flap! Senternya nyala. Aku lega banget. Otak manusia memang gaspol-nya kalau lagi kepepet.
Meski senterku nyala, aku gak berani gerak-gerakin senterku sembarangan. Mengingat saat itu aku lagi di daerah asing yang sakral. Semua tau, Gunung Bromo adalah tempat ibadah umat Hindu suku Tengger. Di padang pasir tadi ada Pura, tempat mereka sembahyang. Aku gak mau ambil resiko kalau misal aku senter-senterin kemana-mana trus moro-moro cahayanya menangkap sosok makhluk halus penghuni gunung. Wew, kalau aku kaget, pingsan, dan jatuh dari tangga setinggi ini, aku bisa mati. Makanya, aku ambil amannya aja, aku cuma senterin kakiku dan mandangin tali sepatuku aja. Sumpah, aku gak berani lihat kemana-mana.
Aku ngerasa temen-temen tadi kok lama banget gak turun-turun. Semakin takut ditinggal sendirian dalam kondisi kayak gitu, aku teriak, "REEEK... AYO CEPETAAAN... AKU TAAAKUUUTT...". Suaraku bukan terdengar seperti orang yang teriak, malah cenderung lebih terkesan merengek pingin nangis. Suara Hilal pun menjawab, "IYA FIIIRR. SEKARANG RIZAL TURUN BUAT JEMPUT KAMUUU... HABIS ITU KITA NYUSUL. TUNGGU YAAA!!". Yeah, kita terpaksa teriak-teriak karena jarak kita terpisah puluhan meter dengan ratusan anak tangga. Dari tempatku duduk sendiri itu, aku bisa lihat ada 2 titik kecil yang bersinar dari padang pasir di bawah. Aku yakin, itu adalah sinyal dari senter temen-temenku yang nungguin kita untuk segera turun dan pulang ke villa bareng-bareng. Aku mulai merasa agak tenang waktu cahaya senter yang dibawa Rizal turun semakin deket menuju ke arahku. Terlebih waktu Rizal berkali-kali manggil namaku hanya untuk memastikan aku masih ada disana.
Akhirnya Rizal sampai, dia duduk di sebelahku. "Aku laper, tanganku gemeteran..." keluhku. Rizal nyuruh aku makan cokelat sebagai pengisi kalori. Satu-satunya cokelat yang ada di tasku cuma wafer. Langsung aku lahap sendirian karena Rizal nolak waktu tak tawarin. Kita berdua nunggu temen-temen yang di atas turun. Jam 19:15 PM, kita berdelapan sudah kumpul lagi, capcus turun tangga, menuju ke tempat dimana temen-temen yang lain pada nunggu di padang pasir.
Untuk menuju ke tempat titik-titik cahaya senter temen-temen yang lain itu gak gampang. Gimana nggak, jalannya gak kelihatan sama sekali. Apalagi medannya berbatu, berbukit, dan berpasir. Sampai perosotan di batu-batu berpasir curam pun kita jabanin. Untung kita bisa kembali jadi rombongan 21 orang lagi setelah berjuang keras. Kita semua masih harus lanjut jalan lagi menuju villa yang jaraknya puluhan kilometer. Sebelum melanjutkan perjalanan, Rizal mimpin doa supaya kita diberi perlindungan keselamatan dan kemudahan melewati ini semua. Semakin malam, udara dinginnya semakin liar. Beberapa temen ada yang jatuh sakit, pertahanan tubuhnya gak sanggup melawan hawa dingin gunung. Darah pun rasanya kayak membeku. Memang, ancaman terbesar kami ketika itu adalah hipotermia. Naudzubillah. Kita harus tetep jalan terus biar segera sampai villa dan istirahat. Sesekali kita berhenti untuk minum, makan snack, berhitung (untuk memastikan gak ada yang ketinggalan), dan mencari jalan diantara kegelapan. Kebetulan Dita bawa Galaxy Tab-nya yang ada aplikasi kompas. Kita cuma bisa mengandalkan arah kompas yang bahkan itu kita duga-duga sendiri harus ke arah mana.
Jam 20:15 PM. Kita kesasar total. Padahal sudah menempuh perjalanan jauh berjam-jam, tapi samasekali gak semakin dekat dengan lampu-lampu restoran dan villa disana. Malah kayaknya semakin jauh. Perasaan kita sudah jalan lurus, bahkan dibantu kompas. Tapi kok gini. Hanya ada dua kemungkinan, kita benar-benar tersesat, atau ada makhluk-makhluk gunung yang menyasarkan kita sehingga kita jadi hanya berputar-putar aja disitu. Who knows.
Buntu sebuntu-buntunya. Solusi terakhir adalah: telepon bapak pemilik villa. Di padang pasir dan gunung kayak gitu lho Alhamdulillah ada sinyal. Iin telepon Pak Tono (bapak villa), nanyain arah. Tapi bapaknya cuma nyuruh kita untuk berdiri di bukit batu tertinggi dan ngasih sinyal dengan senter, karena nanti bapaknya bakal nyamperin kita. Oke. Sambil nunggu Pak Tono, kita juga tetep jalan terus biar semakin cepet sampai.
Agak beberapa lama, kita ketemu juga dengan Pak Tono. Woah, girang setengah mampus deh, seolah nemu oasis di gurun. Bapaknya bawa 1 ojek, untuk angkut anak yang sakit. Windy dan Ucil pun naik ojek karena kondisi mereka berdua yang paling parah diantara kami. Sisanya, lanjut jalan terus bareng Pak Tono. Aku jalan tepat di belakang Pak Tono untuk menyinari jalan di depan kami. Pak Tono bilang ke aku: "Satu-satunya yang kita takutkan kalau sudah malem gini cuma satu mbak, kabut! Untung kebetulan malam ini gak berkabut. Kalau misalnya berkabut ya mbak, senter jadi percuma karena jarak pandangnya pendek, 1 meter aja sudah gak kelihatan. Nah apalagi kalau kayak kalian gini, minta bantuan. Gak bakal kelihatan mbak. Penduduk sini gak bakalan tau kalau masih ada pengunjung kesasar di gunung". Mendengar penjelasan itu, lututku lemes. Astaga, jadi daritadi kita semua ini hampir seperti berjuang melawan maut ya. Edan!
Gak lama, ada ojek dateng lagi, siap jemput anak-anak yang sakit atau gak kuat jalan. Tapi kali ini temen-temen pada gak ada yang mau naik, pada bilang kalau mereka masih kuat. Walah, eman lho, sudah dijemput ojek gini padahal. "Kalau gak ada yang mau naik, aku yang naik lho" kataku ke temen-temen. Jadilah akhirnya aku yang naik ojek. Muehehehe.
Alhamdulillah. Kakiku selamat dari siksaannya. Dalam perjalanan, aku tanya ke tukang ojeknya, "Kalau kayak gini ini, suhu udaranya berapa pak?". Bapaknya jawab, "Yaa kurang lebih sekitar 7 derajat celcius mbak. Malah kalau bersalju bisa sampai nol derajat. Tapi untung malam ini gak berkabut. Tadi saya kebetulan lihat-lihat gunung dan kaget ngelihat ada cahaya senter. Sudah semalem ini tapi kok masih ada tamu? Langsung saya jemput mbak!". Duar! Kata-katanya hampir mirip dengan kata-katanya Pak Tono. Aku merinding. Selama perjalanan menuju villa aku gak berani tanya-tanya lagi. Aku gak mau mendengar apapun lagi yang lebih buruk dari ini semua.
Sampai villa, aku bayar ojeknya 25ribu, meski mahal tapi worth it lah dengan keselamatan kakiku. Di dalam villa, Ucil tepar di tempat tidur, kayaknya dia demam. Sementara Windy baru aja selesai sholat. Afif nyamperin aku minta diceritain, tapi aku kepingin mandi dulu. Pas mandi, woah, airnya super gila dingin. Untuk sabunan aja aku mati rasa, hampir beku. Mandinya tak cepet-cepetin, langsung ganti baju dan kelukupan pakaian plus jaket double-double lagi. Habis itu baru aku ceritain semuanya ke Afif.
Jam 21:15 PM, temen-temen yang lain baru tiba di villa. Nggeblak semua di tikar. Setelah istirahat beberapa menit, kita makan malam dengan nugget dan sosis goreng. Meski sederhana, tapi rasanya seperti makanan terenak di dunia! Habis makan, Pak Tono nyiapin api unggun di halaman villa. Sayang, api unggunnya kurang ter-apresiasi karena banyak yang sudah tidur kecapekan. Cuma aku dan 4 orang lainnya aja yang menikmati api unggunnya sampai padam.
Begitu masuk ke dalam villa lagi, ternyata sudah ada hasil rapat kalau besok pagi waktu kita lihat sunrise di Penanjakan, kita nyewa mobil hardtop aja. Mau gimana lagi. Bayangin aja, jauhnya menuju Penanjakan tempat view spot sunrise itu, dua kali lipat jauhnya menuju puncak kawah Bromo. Sinting banget kalau kita masih tetep pingin jalan kaki setelah semua yang kita lewati malam ini. Rencana awal lihat sunrise dengan jalan kaki kita coret. Demi kesehatan, kita bayar 65ribu per orang untuk sewa 3 mobil hardtop yang tarifnya 350ribu/6 orang. Oya, sudah tau mobil hardtop khan? Itu loh, mobil off-road 4X4 yang keempat rodanya muter (mobil biasa cuma dua roda belakang yang muter).
Malam itu kita tutup dengan istirahat massal. Gak ada acara begadang seperti waktu kita nginep di Pacet pada liburan semester lalu. Kita harus bangun jam 2:30 AM karena mobilnya bakal jemput jam 3:00 AM. Kita harus kejar waktu sebelum matahari terbit, sementara untuk mencapai view spot, butuh waktu berjam-jam perjalanan naik mobil.
.......bersambung
1 comment(s):
Mbak ceritanya bagus,detail sekali..hehehe..
Tapi lanjutannya mana y mbak?saya gak bisa nemukan..
Post a Comment